Bulan Mei 2014 lalu, tepat tanggal 9 hari jumat sekitar pukul sembilanan malam. Aku masih ingat betul dengan kejadian itu. Pengalaman pertama kali bagiku, yang memberikan pelajaran berharga. Saat itu aku usai mengantarkan teman ke stasiun Bungur Sidoarjo. Perjalanan pulang menuju rumah tiba-tiba sebuah sepeda motor dari arah yang berlawanan menghantam sepeda motorku. Tak sempat menghindar, sebab begitu cepatnya motor itu melintas dan tubuh pun jatuh bersama motor seketika juga. Sejanak gelap, tapi sebelumnya aku sempat melihat motor yang menghantam diri ini masih bisa berdiri dan dengan cepat lari.
Lebih tepatnya aku korban tabrak lari.
Beruntung tempat kejadian itu tepat di depan supermarket yang terletak di sekitar Semolowaru, dekat sekali dengan kampus Institut swasta di Surabaya bagian timur. Orang-orang disekitar supermarket langsung berkerumunan menolong. Suara ribut yang terdengar berhasil membukakan mataku. Ada seorang Bapak yang membantu membukakan helm yang ku kenakan. Kaca helm itu sudah pecah. Sepeda motorku, entah bagaimana keadaannya. Yang terpenting saat itu adalah keselamatan diri dulu. Ada juga dua orang perempuan yang membantuku berdiri dan memapah tubuh ini ke teras supermarket itu. Awalnya, aku akan langsung dibawah ke rumah sakit oleh kedua perempuan itu. Sebab darah dari kening, tulang pipi, tangan, dan kaki keluar dengan begitu saja. Tapi, aku menolak dan meminta tolong untuk membawaku ke pinggir jalan dulu. Tujuannya, agar aku merasa tenang dulu. Karena setelah adanya kecelakaan, pastilah kondisi tubuh tiba-tiba kejang. Kaget. Gemetar. Dan apalah namanya.
Aku melihat satu dari perempuan itu tergopoh-gopoh dari dalam supermarket dengan membawa sebotor air minum, tisu dan kapas untuk membersihkan darah yang mengalir di area wajahku. Setelah kondisiku sedikit tenang. Kedua perempuan itu, kembali memintaku untuk dibawa ke rumah sakit. Takut-takut ada kenapa-kenapa denganku. Baik sekali kedua perempuan itu. Namun, kembali ku tolak. Karena saat itu aku masih merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Malahan aku ingin pulang.
Nah, ketika aku berpikir pulang. Pastilah orang-orang rumah akan kaget, panik dan heboh. Apalagi kalau nenek dan ibu. Mereka orang pertama pastinya yang khawatirnya minta ampun dan aku tak mau membuat mereka khawatir. Apalagi dengan melihat kondisiku yang masih berdarah-darah belum sepenuhnya dibersihkan. Saat itu juga aku putuskan untuk menghubungi salah satu teman dekatku yang ada di kampus dan urung menghubungi orang-orang rumah. Setelah mendengar bahwa aku kecelakaan intonasi suara dari HP berubah menjadi panik. Padahal saya menyampaikan kabar itu dengan hati-hati dan nada seperti tak terjadi apa-apa. Santai.
Akhirnya tak lama kemudian dia datang menjemput dan hendak mengantarkanku pulang. Lagi-lagi aku menolak. Meminta tolong untuk malam itu sementara waktu aku menginap dikosnya. Sambil membersihkan darah yang ada pada luka serta memimjam bajunya untuk berganti pakaian. Dia membolehkanku menginap malam itu, setelah saya memberinya penjelasannya.
Oke, sepanjang malam itu. Aku menahan sakit bukan main. Tapi tak berbicara kepada temanku itu. Tidurnya pulas sekali, aku tahu dia lelah dengan segala aktivitasnya di kampus. Saat adzan subuh terdengar, cepat-cepat ku hubungi kakak laki-laki ku. Aku tahu, dia kaget. Dan segera mungkin menjemput dikosan temanku itu. Dengan tertatih aku keluar dari kosan dan menghampiri kakakku. Aku tahu dari raut mukanya, ia hendak marah. Kenapa tak langsung menghubunginya malam itu. Tapi urung setelah melihat kondisiku dan mencoba memberikan pengertian. Bahwa saya tak mau membuat orang rumah khawatir dan memintanya untuk jangan memberi tahu nenek dan ibu dulu. Biarkan mereka tahu setelah saya sampai di rumah nanti. Setelah itu, aku langsung dibawa kerumah sakit terdekat. Dan menurut saja apa kata dokter atau perawat yang merawatku saat itu.
Sekarang beralih ke kejadian yang serupa, dua hari lalu sejak aku menuliskan cerita ini. Namun, kejadian itu bukan menimpaku lagi, melainkan adikku.
Kecelakan itu, terjadi ketika sebuah mobil hendak berputar kekanan. Tapi posisinya ia menyalakan reting lampu secara mendadak setelah motor adikku berada tepat di sebelah kanannya dengan kecepatan stabil tak menguranginya. Dan mobil itu secara tiba-tiba berbelok. Terjadilah kecelakan itu. Ia sempat lompat dan terguling-guling diatas terotoan. Orang-orang yang tahu kejadian itu langsung menghentikan mobil itu dan kata adik saya memang mobil itu awalnya tidak akan malarikan diri. Justru berhenti menolongnya. Disisi lain ternyata ada salah satu adek didikku yang pernah aku ajari ketika aku masih duduk di bangsu SMA mengetahui kejadian itu. Ia langsung berlarian menuju rumahku dan memberikan kabar itu langsung kepada ibu yang saat itu baru pulang dari musholah di seberang jalan. Sedang aku yang baru tiba di rumah setelah melakukan aktivitas sepanjang hari langsung beranjak lari menuju lokasi kejadian. Dan meminta adik perempuanku menjaga ibu untuk tetap di rumah. Ternyata tempat kejadian sudah bubar. Dan pertanyaanku saat itu, dibawa kemana adikku tadi.
Aku mencoba tenang dulu, menghubungi kakak yang sedang bersama istri dirumahnya. Sepertiku sebelumnya, kakak langsung menuju tempat kejadian dan hanya menemukan aku seorang dengan wajah yang masih penuh kekhawatiran tapi mencoba tenang dengan tetap dalam pikiranku, adikku dibawa ke rumah sakit mana?
Akhirnya kakak memintaku untuk pulang. Ia yang akan mencari adikku dirumah sakit terdekat dari rumah dan lokasi kejadian itu. Mengabari ibu, menenangkan dan menjaganya. Sambil menunggung kabar dari kakak.
Tak lama kemudian, kakak mengabari bahwa adik sekarang berada di rumah sakit UNAIR dan menjalani perawatan. Serta tak perlu terlalu dikhawatirkan. Hanya luka-luka ditangan, kaki dan dijahit jari manis dan kelingkingnya. Setelah itu pulang.
Esoknya, seperti biasa. Adikku ini suka bercerita, ngelucu, dan bercanda. Serta kemampuannya untuk mengendalikan orang dan situasi cukup handal. Saat sore hari saya pulang kerumah. Aku duduk berjajar dengannya. Bertanya kejadian semalam. Dan dia tertawa. Sedang aku heran melihatnya, ada apa.
Saat itu, dia menceritakan sedetail mungkin kejadian malam itu. Saat posisinya terjatuh sampai dia dibawa ke rumah sakit. Setelah itu saya ikutan tertawa mendengarnya. Urung kasihan karena melihat perban-perban di tangan, kaki, jari dan memar yang terlihat. Bagaimana tak tertawa. Dalam kondisinya tertabrak saja ia masih bisa berpikir bagaimana bagusnya posisi ia terjatuh. Saat diberdirikan orang, ia bilang sandalnya lepas. Hanya satu yang terlihat, itu pun satu meter dari posisinya jatuh. Sedang satunya lagi tak tahu kemana. Meminta orang mencarinya dulu dan menolak langsung dibawah ke rumah sakit. Padahal dia sudah berdarah-darah. Sebab sandal itu sandal kesayangan. Katanya.
Kemudian saat dirumah sakit. Dia membuat ke empat perawat yang ada diruangan tertawa dan pusing sebab ulahnya yang jahil menggoda perawat itu. Hingga orang yang menabrak, kakak dan istrinya pun tertawa melihat tingkahnya. Urung juga kasihan. Katanya, kalau tidak jahil sakitnya terasa. Jadi dibuat tertawa. Supaya tak tegang. Ia menyapa perawat-perawat itu dengan sebutan yang berbeda-beda. Sesuai dengan raut wajah menurut pendangannya. Diantaranya mbak cantik, mbak putih, mbak bundar dan satu lagi mbak tante. Saat salah satu perawat yang dipanggilnya mbak tante selesai membius jari-jarinya dengan menyuntiknya sebelum dijahit, perawat itu mencubit jarinya, memastikan bahwa biusnya sedang bekerja dan bertanya kepada adekku. “terasa?” iapun menjawab “terasa.”.
Kemudian perawat tersebut menyuntiknya sekali lagi, dan bertanya kembali “terasa?”
“Iya, terasa, mbak tante.”
Wajah perawat itu terheran dan menyuntiknya lagi. Dan bertanya lagi “ terasa?”
“terasa, mbak tante.”
Raut wajah perawat itu katanya semakin terheran. Mencubitnya lagi "sakit?"
Dengan tampang polosnya adekku menjawab “tidak sakit,” Sontak perawat itu menarik napas panjang sambil memegang kepalannya. Tiga perawat lainnya tertawa.
“Oala, mas-mas. Tidak bilang dari tadi. Saya sudah menyuntik sampai tiga kali,” perawat itu sebal karena ulah adekku.
“mbak tante, tanyanya bukan sakit tadi, tapi terasa.” Jawab adekku sambil tertawa.
Inilah perbedaan itu, ulah sikap adek dan kakak. Silakan disimpulkan dan dimengerti sendiri. Karena aku disini hanya ingin menuliskan sepotong dari kisah perjalanan hidupku. Antara aku sebagai kakak dan adekku yang sudah memasuki tahap akhir dari masa SMAnya.
Dulu, kecelakaan yang aku alami adalah motor dengan motor. Tabrak lari lagi. Tapi adekku, motor dengan mobil. Orang yang menabrak berbaik hati bertanggung jawab menolong pula. Tapi bukan itu perbedaannya. Tapi cara bersikap untuk menghadapi kondisi yang terjadi. Aku sayang kepada keluargaku, khususnya ibu dan nenekku. Dengan cara menyembunyikan kejadian hingga benar-benar tenang. Baru aku berbicara. Padahal itu adalah cara yang salah. Dengan menunda kabar itu kepada orang-orang rumah. Tapi adekku, belajar dari kejadianku terdulu dan mengubah situasi yang tegang, panik, dan prihatin. Menjadi terkendali dan berhasil menenangkan dengan celotehan jahil dan menyenangkan.
Sebagai penutup, yang menyentuh hatiku untuk menuliskan kejadian ini adalah pernyataannya setelah bercerita sore tadi. “mbak, aku belajar tentang rasa sayang dari kekhawatiran dan kecemasan dari mbak dulu pas kecelakaan.”
Entah pembaca menganggap kata terakhir itu seakan-akan berlebihan atau tidak. Tapi itulah katanya.